Senin, 11 Januari 2010
kh. abdurrahman wahid
MINIBIOGRAFI GUS DUR
Abdurrahman "Addakhil", demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, "Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas".
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan "darah biru". Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais 'Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.
Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
NASHAB KH.ABDURRAHMAN WAHID
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
bin
KH. Abdul Wahid Hasyim
bin
KH. Hasyim Asy’ari
bin
KH. As’ari
bin
Abu Sarwan
bin
Abdul Wahid
bin
Abdul Halim
bin
Abdurrohman (P. Sambud Bagda)
bin
Abdul Halim (P. Benawa)
bin
Abdurrohman (Jaka Tingkir)
bin
Ainul Yaqin (Sunan Giri)
bin
Ishak
bin
Ibrohim Asmuro
bin
Jamaludin Khusen
bin
Ahmad Syah Jalal
bin
Abdulloh Khon
bin
Amir Abdul Malik
bin
Alawi
bin
Muhammad Shohibul Mirbat
bin
Ali Choli’ Qosam
bin
Alawi Muhammad
bin
Muhammad
bin
Alawi
bin
Ubaidillah
bin
Ahmad Al-Muhajir Ilallah
bin
Isa Arrumi
bin
Muhammad Annaqib
bin
Ali Al-’Uroidi
bin
Ja’far Shodiq
bin
Muhammad Al-Baqir
bin
Ali Zaenal Abidin
bin
Husein
putra
Siti Fathimah Az-Zahro
binti
Rasulillah, Muhammad saw
Demokrasi dan Gus Dur
Posted by: sufimatre on: April 7, 2008
* In: Politik
* Comment!
”Pelopor demokrasi apaan…” Dengan ketus Arbi Sanit menyindir Gus Dur ketika dimintai pendapatnya soal pemecatan Muhaimin Iskandar. Saya sih tidak kaget Arbi Sanit bilang begitu. Bang Arbi adalah salah seorang pengamat politik yang tidak pernah bisa jernih ketika dia menilai Gus Dur. Arbi Sanit dan juga banyak pengamat memang sudah membawa gen untuk tidak bisa pro Gus Dur dalam hal apapun, semacam penyakit rabun Gus Dur. Kalau tidak salah Bang Arbi berasal dari Sumatera Barat.
Tapi bukan hanya Bang Arbi dan orang-orang Sumatera Barat yang kehilangan akal sehat mengikuti sepak terjang Gus Dur. Arek-arek Suroboyo dan banyak ulama Jawa mulai kehilangan jejak dan tertatih-tatih sambil mencak-mencak mengikuti Gus Dur. Kita dan kebanyakan orang sering menganggap Gus Dur itu Sinting. Gelar yang demikian menistakan itu bukan hanya tidak pantas tapi juga sangat melukai kita sebagai sebuah Bangsa. Jika Gus Dur benar-benar sinting dalam pengertian yang sebenar-benarnya,
bukankah lebih sinting Amien Rais yang telah mendorong Gus Dur untuk menjadi Presiden? Dan itu artinya sebuah pembenaran bahwa kita lebih sinting karena telah memilih para anggota dewan yang sinting?
Dari awalnya kelahirannya Gus Dur memang diciptakan untuk berbeda. Bagi sebagian orang, terutama tipe pekerja keras dan disiplin Gus Dur adalah contoh paling valid bahwa dunia tidak berputar linear. Life is not fair begitu kata orang. Pada masa belia saat orang-orang seusianya belajar menghapal aturan-aturan fiqh yang baku ia malah asik melahap buku-buku yang oleh sebagian orang diharamkan untuk dibaca. Saat berada diluar negeri dengan ijin kuliah, waktunya malah lebih banyak dihabiskan diwarung kopi, kongkow dengan orang-orang underground musuh penguasa. Saat Sebagian ulama kerepotan membimbing umat, Gus Dur memilih menjadi komentator sepakbola dan film. Soeharto pernah disebutnya sebagai satu-satunya musuh, tapi pada saat yang sama dia menyatakan Tutut adalah calon pemimpin masa depan. Saat sebagian orang masih merinding mendengar kata ’PKI’ Gus Dur merehabilitasi orang-orang yang diduga terlibat Gestapu. Saat orang-orang Cina banyak dimusuhi, Gus Dur mengaku menjadi Bapak angkat mereka. Saat Inul dicaci maki, Gus Dur bilang goyang ngebor bukan masalah yang perlu diributkan. Dari sini bisa ditarik kesimpulan, jika anda dimusuhi orang banyak berlindunglah kepada Gus Dur.
Paradoks, kontradiksi, kejanggalan dan inkonsistensi adalah nama tengah Gus Dur dan itu mengantarkannya menjadi Presiden! Sebuah prestasi yang tidak bisa dihapus sejarah.
Kini, saat semua partai berbenah menyambut pesta demokrasi 2009, Gus Dur malah berulah dengan memecat Ketua Umum PKB. Setelah era Matori dan Alwi hal ini rupanya semakin menguatkan dugaan orang bahwa PKB adalah Gus Dur dan Gus Dur adalah PKB. Maka saya sangat tidak mengerti jika ada orang-orang yang ingin menegakan demokrasi di PKB. Dari awal kelahirannya PKB sudah cacat demokrasi. Alasannya, demokrasi tak pernah cocok dengan Gus Dur. Pertengahan 90-an saat Gus Dur mendapatkan kehormatan dengan gelar Panglima Demokrasi, hal yang sebenarnya terjadi adalah Gus Dur menunggangi demokrasi untuk sebuah agenda yang anti demokrasi. Dan hanya untuk hal ini Gus Dur sangat konsisten.
Saat Gus Dur keluar terusir dari Istana, dia memilih keluar dengan menggunakan (maaf) kolor (saya bersyukur warnanya bukan Ijo). Dia terusir dengan tidak hormat, dituduh maling! dan saya ingat betul siapa orang-orang yang demikian getol meneliti dan menginvestigasi kasus itu sehingga keluar sebuah kalimat sakti „Gus Dur patut diduga terlibat…“. Sebagian orang-orang itu sekarang masih menjadi menteri. Hartanya pasti sudah berlipat-lipat. Padahal dalam operasi bilangan, kelipatan biasa digunakan untuk perkalian akar pangkat. Sementara tabungan gaji menteri hanya bisa dipahami dengan operasi penjumlahan. Jika anda pusing, sekali-sekali tanyakan kepada KPK.
Dengan kapasitas moral yang demikian besar yang dipunyai para bandit senayan, mereka cukup meyakinkan masyarakat bahwa Gus Dur bersama tukang pijatnya berkolaborasi membobol uang negara. Jika anda ingat jumlahnya, jauh dibawah yang digondol Wijanarko. Kini, PDIP mengaku partai paling oposisi. Bahkan sebelum pemerintah sempat mengeluarkan sepatahkatapun PDIP akan segera menimpalinya „No!“. Maka sekarang lah saat yang tepat bagi SBY memuji Megawati sebagai pemimpin yang sukses, meski hanya 2 tahun memimpin.
Pemilu 1999 menempatkan Indonesia menjadi negara besar ketiga yang sukses membangun demokrasi. Konon hanya kalah oleh Amerika Serikat dan India. Indonesia mendapat pujian berbunga-bunga dari seluruh dunia sebagai bangsa besar dengan demokrasi yang cantik dan molek (karena gemuk) bahkan genit (perhatikan saja iklan pilkada di TV) namun diam-diam hal yang luar biasa sesungguhnya tengah terjadi dan kita nyaris menganggapnya tidak ada hubungannya dengan Demokrasi.
Setelah era Orde Lama tahun 1965, tak pernah ada pemandangan rakyat antri semua jenis kebutuhan dasar. Jerigen berjejer hampir satu kilometer! Harga seliter minyak tanah lebih mahal dari Pertamax! Inilah era pemecahan rekor besar-besaran! Lihatlah faktanya seorang mentri pribumi (sebelumnya tak pernah ada pribumi) menjadi orang terkaya di Indonesia saat menjadi menteri koordinator kesejahteraan rakyat. Dia berhasil menjalankan tugasnya dengan sangat sempurna! Semua jenis komoditas naik kepuncak tertinggi hampir bersamaan. Angka kemiskinan dan pengangguran terus diperdebatkan namun orang menjadi gila dan bunuh diri hampir terjadi setiap hari. Subsidi energi, bunga hutang, dan belanja aparat Negara menghabiskan 70% APBN. Semua ini benar-benar terjadi dalam bingkai Demokrasi yang cantik dan seksi!
Bagi saya yang dibesarkan dengan romantisme Nahdlatul Oelama, Gus Dur adalah manifestasi ideal dari pemimpin di era krisis. Pemimpin yang berani keluar dari kungkungan sistem dan berani mengambil resiko. Tak peduli sistem itu nyaris di kultuskan sebagian besar orang di Dunia, What the hell about democracy, jika demokrasi hanya menghantarkan rakyat keujung neraka. Begitu kira-kira.
Orang normal diantara orang gila, tentu akan dianggap gila!
Atau mungkin saya yang sudah gila?
Tag: Demokrasi, Gus Dur, PKB
Jurus Sepakbola Gus Dur
* Juni 3, 2008 – 3:00 pm
* Ditulis dalam Umum
* Bertanda anekdot gusdur, gus dur, gusdur
Setelah DPR menjatuhkan memorandum I kepada presiden, guyonan yang menjadi “merek dagang” khas Gus Dur hampir tak pernah muncul lagi. Setelah DPR meneruskan dengan memorandum II, dan kemudian meminta agar Gus Dur dimintai pertanggungjawaban di sidang istimewa MPR, humor-humor segar Gus Dur betul-betul lenyap dari langit politik IndonesiaSalah satu “humor terakhir” Gus Dur berangkali adalah komentarnya sebelum terkena memorandum itu. Gus Dur sendiri terlihat tenang-tenang saja meski Pansus Bulog dan Brunei sedang getol memeriksa beberapa saksi untuk mencari bukti keterlibatan Presiden.
Kok Gus Dur tenang-tenang saja? Ternyata karena dia telah menerapkan strategi catenaccio (gerendel) seperti yang digunakan oleh tim sepakbola Italia dalam final piala dunia 1982 di Spanyol.
Ketika itu, cerita Gus Dur, pelatih Italia Enzo Bearzot menempatkan Claudio Gentille sebagai pemain belakang (bek) untuk bertahan sekuat tenaga di depan gawang sendiri. Bila Gentille menerima bola,maka bola akan langsung dibawa ke depan dan dioper kepada Paulo Rossi, yang akan memasukkan bola ke gawang lawan.
Jadi, kata Gus Dur, Soewondo, Siti Farikha, Masnuh, dan lain-lain yang dituduh macam-macam itulah cotenaccionya.
Gus Dur sendiri? “Saya yang jadi Paulo Rossi,” kata Gus Dur. “Begitu dapat, langsung saya giring ke gawang lawan.”
Begitu ampuhnya jurus catenaccio itu sehingga, menurut Gus Dur, “Baru dibilang pansus itu illegal saja mereka sudah nggeblak (terjengkang), tele-tele (tidak berdaya) semua. Padahal itu baru jurus pertama dan saya masih mengantongi empat jurus lainnya.” Dia pun tertawa.
Apa jurus lain Gus Dur itu? Ada hit and run yang sering digunakan oleh tim Nigeria. Ada jurus total football-nya Belanda.
“Pokoknya,” tambah Gus Dur sambil terus terkekeh di depan jamaah Jumatan di Masjid BPK, “Semua teori sepak bola itu akan saya gunakan untuk situasi politik kita, dan Insya Allah cocok.”
(mbs) http://news.okezone.com/GUSDUR
« Antara Soeharto dan Juventus
Cowok-cowok yang Dihindari Wanita »
Gus Dur: Bintang Kejora Itu Lambang Kultural
Jumat, 6 Juli 2007 17:43
Jakarta, NU Online
Mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan, tidak menjadi persoalan jika bendera "Bintang Kejora" ingin dijadikan simbol kultural Papua.
"Bintang kejora bendera kultural. Kalau kita angggap sebagai bendera politik, salah kita sendiri," kata Gus Dur kepada wartawan di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Jumat (6/7).
Gus Dur, yang saat menjabat presiden mengabulkan permintaan masyarakat Irian Jaya (waktu itu) untuk menggunakan sebutan Papua, justru menuding polisi tidak berpikir mendalam ketika melarang pengibaran bendera "Bintang Kejora".
"Ketika polisi melarang, tidak dipikir mendalam. (tim) sepak bola saja punya bendera sendiri. Kita tak perlu ngotot sesuatu yang tak benar," katanya.
Menurut Gus Dur, kalau pengibaran bendera itu dianggap separatis, maka ujung-ujungnya adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menurut dia sudah tidak ada lagi.
"Kalau dianggap separatis harus dilanjutkan apa alasannya? Ujung-ujungnya kan OPM. Tapi sejak dua tahun lalu (OPM) sudah tinggalkan situ (Papua). Tak perlu kita curiga pada saudara sendiri," katanya.
Sebelumnya, sejumlah pihak meminta agar dihindari penggunaan bendera "Bintang Kejora" sebagai lambang kultural Papua karena bendera itu telanjur menjadi simbol gerakan separatis OPM.
Ketika ditanya soal diundangnya aktivis OPM oleh Senat Amerika Serikat beberapa waktu lalu, Gus Dur juga tidak terlalu mempermasalahkannya, walau Senat tidak mengundang pemerintah Indonesia untuk menjelaskan persoalan yang sama. "Pemerintah tidak diundang, wong pendiriannya sudah tahu," katanya.
Sementara, menyangkut penyusupan aktivis kelompok gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) pada acara yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon beberapa waktu lalu, Gus Dur menyebutnya sebagai keteledoran.
"Itu keteledoran, tak perlu dibenarkan, agar tahu ada yang teledor. Biarkan saja, tapi jangan sampai terulang di masa depan," katanya. (rif)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar